Rabu, 18 Oktober 2017

Keputusan Bersama

Oktober 18, 2017 0 Comments
Keputusan Bersama

 A.    Hakikat Keputusan Bersama
     Keputusan adalah segala putusan yang telah ditetapkan atau disetujui. Siapa pun yang terikat dan terkait dengan hasil keputusan harus menaatinya.[1]
     Terdapat dua macam keputusan, yaitu keputusan pribadi dan keputusan bersama. Keputusan pribadi adalah keputusan yang dilakukan perorangan. Keputusan dalam kegiatan setelah bangun tidur, keputusan memilih makanan, keputusan ketika belajar. Semua itu merupakan hak individu, dan setiap orang mempunyai keputusan yang berbeda-beda[2]. Sedangkan keputusan bersama adalah suatu keputusan yang dilakukan oleh sekelompok orang atau lembaga yang sudah ditetapkan  berdasarkan pertimbangan, pemikiran, dan pembahasan yang matang. Keputusan bersama haruslah mewakili kepentingan seluruh anggota atau seluruh peserta rapat, dan keputusan bersama harus dilakukan dengan rasa tanggung jawab.  Oleh karena itu, sebuah keputusan bersama harus dipatuhi dan dilakukan oleh semua anggota tanpa terkecuali dan membedaka-bedakan. Dalam mengambil keputusan tidak boleh memaksakan kehendak.
Hasil dari  keputusan yang diambil  juga tidak boleh hanya menguntungkan satu pihak saja, tetapi semua pihak haruslah merasa diuntungkan. Karena keputusan bersama haruslah memunculkan rasa keadilan dan semua anggota memiliki kedudukan yang sama. Dalam pengambilan keputusan, kita harus mendasarkan beberapa nilai penting, diantaranya adalah :
1.      Nilai kebersamaan,  dalam pengambilan keputusan kita melakukannya dengan bersama-sama, dengan tujuan yang sama, demi kebaikan bersama. Walaupun setiap anggota berasal dari latar yang berbeda, tetapi harus tetap mendahulukan kepentingan umum dan mengenyampingkan kepentingan pribadi.
2.      Nilai kebebasan mengemukakan pendapat, bebas disini ialah tidak mendapat paksaan dari orang lain, semua anggota berhak mengutarakan pendapatnya. Tetapi harus berpendapat secara logis dan tidak asal mengemukakan pendapat yang hanya akan menimbukan perpecahan, sesuai dengan norma dan tidak menyinggung perasaan orang lain.
3.      Nilai menghargai pendapat orang lain, setiap orang yang akan membuat keputusan bersama haruslah menghargai pendapat orang lain tanpa menyela orang yang sedang mengemukakan pendapat. Bila tidak setuju dengan pendapat yang sedang dikemukakan, peserta lain boleh menanggapinya tetapi dengan cara yang sopan dan tidak  mengandung emosi karena hanya akan menimbulkan permasalahan.
4.      Nilai jiwa besar dan lapang dada, yaitu melaksanakan hasil keputusan dengan rasa penuh tanggung jawab
5.      Nilai persamaan hak, yaitu seluruh anggota mempunyai hak yang sama untuk mengemukakan pendapatnya. Mereka diberi kebebasan untuk mengungkapkan ide tau gagasan[3].
B.     Cara-cara dalam Mengambil Keputusan
     Pengambilan keputusan bersama dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu antara lain :
1.      Musyawarah untuk Mufakat
                        Suatu keputusan bersama dapat dihasilkan melalui musyawarah. Musyawarah berasal dari kata ‘syawara’ yaitu berasal dari Bahasa Arab yang berarti berunding, urun rembuk atau mengatakan dan mengajukan sesuatu.[4]
Jadi yang dimaksud musyawarah adalah pembahasan bersama dengan maksud mencapai keputusan atas penyelesaian masalah. Dalam sebuah musyawarah semua anggotanya berhak menyampaikan pendapat. Setiap anggota pasti memiliki pendapat yang berbeda. Pendapat-pendapat tersebut kemudian ditampung dan dibicarakan bersama. Masing-masing pendapat akan dipertimbangkan kelemahan dan kelebihannya. Perbedaan pendapat dalam musyawarah tidak boleh membuat perpecahan di antara para anggotanya.
                        Apabila semua anggota musyawarah telah menerima sebuah pendapat atau telah menyetujui sebuah pendapat, maka dinyatakan telah mencapai kata mufakat. Mufakat adalah persetujuan bulat. Keputusan yang diambil secara musyawarah mufakat dapat memuaskan semua pihak. Selain itu tidak akan menimbulkan persoalan, karena semua anggota telah menyetujui secara bulat.
                        Dalam melaksanakan musyawarah terdapat beberapa prinsip didalamnya, yaitu antara lain :
a.       Musyawarah dilandasi akal sehat dan pikiran jernih yang sesuai dengan hati yang luhur.
b.      Musyawarah dilandasi semangat kekeluargaan dan gotong royong
c.       Mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat.
d.      Menghargai pendapat orang lain dan tidak memaksakan kehendak dalam bermusyawarah.
e.       Melaksanakan keputusan bersama dengan dilandasi iktikad baik dan penuh rasa tanggung jawab.
f.       Keputusan yang diambil dapat dipertanggung jawabkan secara moral kepada Tuhan yang Maha Esa , menjunjung tinggi harkat dan martabat serta nilai-nilai kebenaran dan keadilan.
                        Jadi dapat disimpulkan bahwa untuk mencapai kata mufakat dalam musyawarah setidaknya harus menerapkan prinsip-prisip diatas. Namun dalam melaksanakan musyawarah akan sulit mencapai kata mufakat apabila :
a.    Peserta musyawarah hanya mementingkan diri sendiri atau golongannya.
b.    Peserta musyawarah tidak menggunakan akal sehat dan hati nurani yang luhur.
c.    Peserta musyawarah berlaku tidak sopan dan bertutur kata tidak baik
d.   Peserta musyawarah memaksakan kehendaknya.
e.    Peserta musyawarah tidak mau menghargai pendapat orang lain.
2.      Suara Terbanyak (votting)
                        Pengambilan keputusan bersama dilakukan berdasarkan suara terbanyak apabila tidak tercapai kata mufakat. Pengambilan keputusan dengan cara ini disebut voting. Dengan voting, pendapat yang memperoleh suara terbanyak dari anggotanya, maka itulah keputusan yang akan diambil.[5]
3.      Lobbying
            Menurut Maschab yang dikutip di blog Universitas Narotama, lobbying adalah segala bentuk upaya yang dilakukan oleh suatu pihak untuk menarik atau memperoleh dukungan pihak lain. Pandangan ini mengetengahkan ada dua pihak atau lebih yang berkepentingan atau yang terkait pada suatu obyek, tetapi kedudukan mereka tidak sama. Dalam arti ada satu pihak yang merasa paling berkepentingan atau atau paling membutuhkan, sehingga kemudian melakukan upaya yang lebih dari yang lain untuk memcapai sasran atau obyek yang diinginkan.[6]
4.      Aklamasi
                        Aklamasi  adalah pernyataan setuju secara lisan dari seluruh anggota kelompok. pernyataan setuju ini dilakukan untuk menghasilkan keputusan bersama.  Pernyataan setuju dilakukan tanpa melalui pemungutan suara. Aklamasi terjadi karena adanya pendapat yang dikehendaki oleh semua anggota kelompok. Keputusan bersama yang disetujui dengan cara aklamasi ini harus dilaksanakan oleh seluruh anggota. [7]
C.     Pelaksanaan Keputusan Bersama
     Dalam pelaksanaannya keputusan bersama dapat ditemukan atau diterapkan kehidupan sehari-hari dilingkungan sekitar misalnya dikeluarga, sekolah maupun dilingkungan masyarakat.
1.    Pelaksanaan keputusan bersama di lingkungan keluarga
                        Didalam keluarga pelaksanaan keputusan bersama misalnya menentukan tata tertib dalam keluarga.
2.    Pelaksanaan keputusan bersama di lingkungan sekolah
3.    Pelaksanaan keputusan bersama di lingkungan masyarakat
   Dalam melaksanakan kegiatan yang menjadi kepentingan bersama pasti akan ada hal-hal yang perlu dibicarakan dan diputuskan bersama. Sebagai contoh jika kita akan bersama-sama menengok orang yang sakit, kita perlu membicarakan waktu yang tepat, bagaimana kita pergi ke tempat tujuan, oleh-oleh apa yang akan dibawa, dan sebagainya. Jika hal-hal tersebut tidak dibicaran terlebih dahulu, dapat dipastikan kalau kegiatan yang kita laksanakan tidak akan berjalan dengan lancar. Keputusan yang diambil bersama-sama karena menyangkut kepentingan orang banyak, disebut keputusan bersama. 

Pengambilan keputusan bersama dapat dilakukan dengan dua cara, yakni melalui musyawarah untuk mufakat dan voting (pemungutan suara). Tahukah kamu apa yang dimaksud dengan musyawarah, mufakat, dan voting?
Musyawarah berasal darikata "syawara"  ( bahasa Arab ) yang berarti berunding, urun rembug, mengatakan atau menyampaikan sesuatu. Musyawarah berarti suatu proses membicarakan suatu persoalan, dengan maksud mencapai kesepakatan bersama. Kesepakatan yang telah disetujui semua peserta dalam musyawarah di sebut mufakat. Sedangkan voting adalah pengambilan keputusan bersama dengan cara menghitung suara terbanyak. Pendapat yang disetujui mayoritas peserta akan ditetapkan sebagai keputusan bersama.

Kedua cara pengambilan keputusan bersama di atas, masing-masing memiliki kekurangan dan kelebihan. Pada pengambilan keputusan melalui musyawarah untuk mufakat, kemungkinan terjadinya pertikaian dan perpecahan akan lebih kecil. Karena keputusan baru diambil jika telah dicapai kesepakatan dari semua peserta musyawarah ( dicapai mufakat ). Namun cara seperti ini akan memakan waktu yang lebih lama dibandingkan voting. Akan butuh waktu yang panjang untuk mencari jalan tengah yang dapat diterima semua pihak, apalagi jika peserta musyawarah jumlahnya banyak. Akan sangat sulit dicapai mufakat, karena semakin banyakorang pasti akan semakin banyak pendapat dan kepentingan.

Pada cara voting, keputusan akan dapat diambil dengan waktu yang lebih singkat, namun kemungkinan terjadinya ketidak puasan dari pihak yang kalah suara, jauh lebih besar. Pihak yang pendapatnya tidak disetujui akan dengan terpaksa menerima keputusan yang akhirnya diambil, sehingga bisa terjadi perpecahan. 

Berdasarkan pertimbangan di atas, kita sebagai bangsa yang berfalsafah Pancasila,kita harus lebih mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan bersama. Sila ke empat Pancasila berbunyi " Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat dalam kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan" Dalam Ketetapan MPR/ No.II/MPR/1999 Pasal 79 bahkan dijelaskan bahwa pengambilan keputusan pada asasnya diusahakan sejauh mungkin dengan musyawarah untuk mufakat, apabila hal ini tidak mungkin, putusan diambil berdasarkan suara terbanyak 

Dalam pelaksanaan musyawarah, setiap orang mempunyai hak yang sama untuk menyampaikan usul atau saran, namun satu hal yang harus diingat, bahwa mufakat tidak dapat dicapai dalam musyawarah, jika setiap orang memaksakan agar pendapatnya disetujui. Setiap peserta musyawarah hendaknya lebih mengutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi atau golongan. Meskipun Pasal 28 E ayat 3 UUD 1945 menjamin kebebasan setiap orang untuk berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat, kita harus ingat bahwa orang lain memiliki hak yang sama dengan kita, jadi kebasan kita dibatasi kebebasan orang lain.Kita harus melaksanakan musyawarah dengan pikiran yang jernih, sehingga kita bisa dengan lapang dada menerima, jika pendapat orang lain lebih baik dari pendapat kita. Suatu keputusan yang telah diambil harus tetap diterima dan dilaksanakan dengan ikhlas dan penuh tanggung jawab, meskipun pada awalnya keputusan tersebut tidak sejalan dengan pendapat kita, kecuali jika kesepakatan yang diambil bertentangan dengan norma hukum dan norma agama. Bagaimanapun suatu keputusan bersama harus dapat dipertanggung jawabkan di hadapan Tuhan Yang Maha Esa, serta menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran dan keadilan.

Di samping berpikiran jernih, musyawarah hendaknya diliputi semangat kekeluargaan. Jika setiap orang menganggap bahwa semua peserta musyawarah adalah keluarga kita yang harus disayangi, dihormati, dan dijaga haknya, maka akan timbul rasa persaudaraan, dan saling menolong. Tidak akan ada sikap semena-mena terhadap orang lain. Dalam menghormati saudara kita selayaknya kita selalu menjaga perkataan dan sikap kita agar jangan sampai menyakiti orang lain. 

Musyawarah untuk mufakat telah menjadi tradisi Bangsa Indonesia sejak dulu. Rembug Desa, Syuro, Kerapatan Nagari, adalah beberapa istilah daerah dalam menyebutkan musyawarah. Disamping dalam kegiatan sehari-hari, musyawarah juga perlu dilaksanakan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Para wakil rakyat yang duduk di DPR, MPR, juga lembaga negara yang lain, sering kali melaksanakan rapat untuk memutuskan bebagai masalah. Namun karena jumlah peserta musyawarah mencapai ratusan bahkan ribuan orang, sangat sulit untuk mencapai mufakat. Pada kondisi seperti inilah voting dapat mrnjadi pilihan.
Jika tidak dilakukan voting kemungkinan untuk mengambil satu putusan saja akan memakan waktu berbulan-bulan. Jika hal itu terjadi, bagaimana jalannya pemerintahan? pasti kacau bukan?

Bagaimana voting atau pemungutan suara dilaksanakan?
Pengambilan keputusan bersama berdasarkan suara terbanyak dapat dinyataka sah apabila diambil dalam rapat yang telah mencapai kourum, dan disetujui oleh lebih dari separuh jumlah anggota yang hadir. Kourum adalah jumlah paling sedikit dari peserta musyawarah yang harus hadir. Biasanya kourum dalam musyawarah adalah 2/3 dari total peserta yang berhak mengikuti musyawarah.Sebagai contoh, jika kelas V yang siswanya 30 anak akan mengadakan voting, setidaknya 20 siswa harus mengikuti rapat, dan keputusan yang diambil harus dapat disetujui setidaknya 11 siswa .
Sebelum memulai pemungutan suara, para peserta dipersilahkan mengajukan usulan, usulan-usulan tersebut kemudian diajukan lagi kepada para peserta rapat. Setiap peserta rapat dipersilahkan usulan atau pendapat mana yang lebih disetujui. Jika jumlah peserta rapat tidak terlampau banyak, peserta dapat mengungkapkan memilih secara lisan, atau isyarat, seperti dengan cara menunjukkan jari. Bila tidak memungkinkan pilihan dapat ditulis pada kertas suara, yang kemudian dihitung.

Kebebasan Organisasi

Oktober 18, 2017 0 Comments
Kebebasan Organisasi
      Oganisasi adalah bentuk perkumpulan antara dua orang atau lebih yang bekerja sama untuk mencapai tujuan yang sama.Organisasi itu menjadi alat yang efektif untuk mencapai tujuan.
Kebebasan berorganisasi diatur dalam UUD 1945 Pasal 28 E ayat (3).

UNSUR-UNSUR ORGANISASI :
1. Manusia.                             3. Tempat.                                         5. Struktur.
2. Tujuan.                               4. Pekerjaan.

LANGKAH – LANGKAH CARA BERORGANISASI YANG BAIK.
a.  Kumpulkan beberapa orang yang mempunyai tujuan yang sama.
b.  Lakukan pertemuan untuk menentukan struktur organisasi.
c.  Buatlah pembagian tugas yang jelas untuk setiap anggota.
d.  Sesuaikan tugas dengan kemampuan yang dimiliki.
e.  Tumbuhkan rasa saling percaya antara anggota.
f.   Hindari perasaan merasa paling hebat di antara teman.
g.  Ciptakan keserasian dalam bekerja kepada setiap anggota.
h. Lakukan kordinasi yang baik untuk mencapai tujuan bersama.

CIRI – CIR ORGANISASI YANG BAIK :
a.  Memiliki tujuan yang jelas dan nyata.
b.  Pembagian kerjanya jelas.
c.  Pembagian tugas sesuai dengan kemampuan.
d.  Ada keserasian antara anggota yang bertanggung jawab.
e.  Adanya koordinasi yang baik untuk semua bagian atau anggota.

MACAM-MACAM BENTUK ORGANISASI
a.  Organisasi formal
Organisasi formal adalah organisasi yang dibentuk secara sadar dan dengan tujuan-tujuan tertentu yang disadari pula dan diatur dengan ketentuan-ketentuan yang formal.
Organisasi formal, biasanya ditandai dengan adanya Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART).
Contoh : LKMD (Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa), PKK (Pemberdayaan kesejahteraan Keluarga)
b.  Organisasi informal
Organisasi informal adalah organisasi yang dibentuk tanpa disadari sepenuhnya, tujuan-tujuannya juga tidak begitu jelas.
Contoh : klub sepeda motor, perkumpulan supporter klub sepak bola, dll
c.  Organisasi sosial
Organisasi sosial adalah organisasi yang mempunyai tujuan sosial. Organisasi semacam ini tidak berharap keuntungan dalam bentuk materi. Tujuan utama organisasi ini untuk melayani kepentingan masyarakat,tanpa menghitung untung-rugi.
Contoh : HKTI (Himpunan Kelompok Tani Indonesia), MUI (Majelis Ulama Indonesia), PMI (Palang Merah Indonesia), dll
d. Organisasi bisnis
Organisasi bisnis adalah organisasi yang bertujuan untuk mendapatkan keuntungan dari hasil organisasi yang dibangun.
Contoh : PT (Perseroan Terbatas),
e. Organisasi resmi
Organisasi resmi adalah organisasi yang terdaftar di lembaga pemerintahan. Organisasi ini bisa langsung dibentuk oleh pemerintah atau hanya ada hubungannya dengan pemerintahan.
Contoh : Departemen Pendidikan, Departemen Agama, PSSI, PERBASI, dll.
Muhamadiya, NU, Persis dll.
f. Organisasi tidak resmi
Organisasi tidak resmi adalah organisasi yang tidak ada hubungannya dengan pemerintahan dan tidak terdaftar di pemerintahan.
Contoh : Klub Olah raga, klub kesenian dll

PEMIMPIN ORGANISASI
Pada hakikatnya setiap orang adalah pemimpin, terutama pemimpin bagi diri kita sendiri, sebagaimana Rasulallah saw bersabda :
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَتِهِ
Artinya : “(setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya)”
  • Pemimpin organisasi adalah orang yang ditunjuk untuk memimpin dan mempersatukan kelompok dalam organisasi.
  • Peranan pemimpin sangat besar dalam organisasi, antara lain sebagai berikut.
a.    Menciptakan kekompakan dalam organisasi yang dipimpin.
b.    Mampu menyelesaikan persoalan yang dihadapi dalam kelompok organisasi yang dipimpinnya.
c.    Mampu memotivasi kerja bagi setiap anggota yang ada dalam kelompok organisasi yang dipimpinnya.

Hal-hal yang harus dimiliki oleh pemimpin adalah sebagai berikut.
a.    Memiliki sifat jujur.
b.    Memiliki pengetahuan yang luas.
c.    Mampu memberikan pengarahan.
d.    Memiliki kreativitas.
e.    Mempunyai inisiatif.
f.     Mempunyai sifat lapang dada.
g.    Mempunyai sifat adil.
h.    Suka bermusyawarah dalam mengambil keputusan.
i.     Memiliki tanggung jawab yang besar.
j.     Mempunyai sikap yang tegas.
k.    Senang melakukan kegiatan yang baik.
l.     Mempunyai kedisiplinan.

 Ciri-ciri  Anggota organisasi yang baik sebagai berikut:
a.    Mau bekerja sama dengan anggota yang lain.
b.    Melaksanakan keputusan yang sudah ditetapkan bersama.
c.    Disiplin dalam melaksanakan tugas sebagai anggota.
d.    Ikut mendukung segala keputusan yang diambil bersama.
e.    Memberikan masukan kepada pemimpin.

ISTILAH DAN SINGKATAN DALAM ORGANISASI
Struktur : Hubungan kerja antar bagian dalam organisasi
OSIS    : Organisasi Siswa Intra Sekolah
PMR    : Palang Merah Remaja
PKS     : Patroli Keamanan Sekolah
IDI        : Ikatan Dokter Indonesia
PGRI    : Persatuan Guru Republik Indonesia
PWI      : Persatuan Wartawan Indonesia
PKK     : Pemberdayaan kesejahteraan Keluarga.

Peraturan Perundang-undangan

Oktober 18, 2017 0 Comments
Peraturan Perundang-undangan

 
A.  Makna Peraturan Perundang-undangan Nasional

Peraturan perundangan-undangan berbeda dengan Undang-Undang, karena Undang-Undang hanya merupakan salah satu bagian dari peraturan perundang-undangan. Peraturan Peundang-Undangan itu sendiri adalah semua pertauran tertulis yang dibentuk dengan cara-cara tertentu oleh pejabat yang berwenang dan dituangkan dalam bentuk tertulis.

Menurut Undang-Undang No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, dinyatakan bahwa Peraturan  Perundang-undangan  adalah  peraturan tertulis  yang  memuat  norma  hukum  yang  mengikat secara  umum  dan  dibentuk  atau  ditetapkan  oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur  yang  ditetapkan dalam  Peraturan Perundang-undangan.

Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, fungsi peraturan perundang-undangan, antara lain sebagai berikut:
a)    sebagai norma hukum bagi warga negara karena beisi ­peraturan untuk membatasi tingkah laku manusia sebagai warga negara yang harus ditaati, dipatuhi, dan dilaksanakan. Bagi mereka yang melanggar diberi sanksi atau hukum ­sesuai dengan ketentuan yang berlaku, sehingga ­terjamin rasa keadilan dan kebenaran.
b)    Menentukan aturan-aturan yang menjadi pedoman dalam menjalankan hubungan antar sesama manusia sebabagi ­warga negara dan warga masyarakat
c)    untuk mengatur kehidupan manusia sebagai warga negara agar kehidupannya sejahtera. aman, rukun, dan harmonis;
d)    untuk menciptakan suasana aman, tertib, tenteram dan kehidupan yang harmonis rasa.
e)    untuk memberikan rasa keadilan dan kepastian hukum bagi warga negara.
f)      untuk memberikan perlindungan atas hak ­asasi manusia.




Untuk memahami perundang-undangan yang berlaku, kita harus memahami susunan tata urutan perundang-undangan. Ini disebabkan susunan tata urutan perundangan-undangan mengajar prinsip-prinsip:
a)    Peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi kedudukannya dapat dijadikan landasan atau dasar hukum bagi peraturan perundang-undangan yang lebih rendah atau berada di bawahnya.
b)    Peraturan perundang-undangan tingkat lebih rendah harus bersumber atau memiliki dasar hukum dari peraturan perundangan-undangan tingkat lebih tinggi.
c)    Isi atau muatan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh menyimpang atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya.
d)    Suatu peraturan perundang-undangan hanya dapat dicabut, diganti atau diubah dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau paling tidak dengan yang sederajat.
e)    Peraturan perundang-undangan yang sejenis apabila mengatur materi yang sama, perturan yang terbaru harus diberlakukan walaupun tidak dengan secara tegas dinyatakan bahwa peraturan yang lama dicabut.
f)      Peraturan yang mengatur materi yang lebih khusus harus diutamakan dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Adapun azas-azas dalam pembentukan  peraturan  perundangan sesuai Undang-undang Nomor 12 tahun 2011 adalah sebagai berikut  :
a.  Kejelasan tujuan, adalah bahwa setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai
b.  Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat , adalah setiap jenis peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh   lembaga   negara atau pejabat pembentuk peraturan perundang-undangan yang berwenang. peraturan perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum apabila dibuat oleh lembaga yang tidak berwewenang
c.  Kesesuaian antara jenis, hirarki, dan materi muatan, adalah bahwa dalam pembentukan peraturan perundang-undangan harus benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat sesuai dengan jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan
d. Dapat dilaksanakan, adalah bahwa setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus memperhitungkan efektivitas peraturan perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis
e.  Kedayagunaan dan kehasilgunaan, adalah bahwa setiap peraturan perundang undangan dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara
f.  Kejelasan rumusan, adalah bahwa setiap peraturan perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan peraturan perundang-undangan, sistematika, pilihan kata atau istilah, serta  bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya.
g.  Keterbukaan, adalah bahwa dalam pembentukan peraturan perundang-undangan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam pembentukan.

Terkait materi yang terdapat dalam suatu peraturan perundang-undangan menurut Undang-undang Nomor 12 tahun 2011 juga  harus mencerminkan asas :
a.  Pengayoman  adalah bahwa setiap materi muatan  peraturan perundang-undangan harus berfungsi memberikan perlindungan untuk menciptakan ketentraman masyarakat.
b. Kemanusiaan  adalah bahwa setiap materi muatan  peraturan perundang-undangan harus mencerminkan pelindungan dan penghormatan    hak   asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga   negara dan penduduk Indonesia secara proporsional.
c.  Kebangsaan adalah bahwa setiap materi muatan   peraturan perundang-undangan harus mencerminkan sifat dan watak    bangsa Indonesia yang majemuk dengan tetap menjaga prinsip Negara Kesatuan  Republik Indonesia.
d. Kekeluargaan  adalah bahwa setiap materi muatan  peraturan perundang-undangan harus mencerminkan musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap pengambilan keputusan.
e. Kenusantaraan adalah bahwa setiap materi muatan   peraturan perundang-undangan senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan yang dibuat di   daerah merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara   Republik Indonesia Tahun 1945.
f. Bhinneka Tunggal Ika adalah bahwa materi muatan   peraturan perundang-undangan harus memperhatikan keragaman penduduk,  agama, suku dan golongan, kondisi khusus  daerah serta budaya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
g.  Keadilan  adalah bahwa setiap materi muatan   peraturan perundang-undangan harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga  negara.
h. Kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan adalah bahwa setiap materi muatan  peraturan perundang-undangan tidak boleh memuat hal yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain,  agama, suku, ras, golongan, gender, atau status sosial.
i.  Ketertiban dan kepastian hukum  adalah bahwa setiap materi muatan   peraturan perundang-undangan harus dapat mewujudkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan kepastian hukum.
j.  Keseimbangan, keserasian, dan keselarasan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, antara kepentingan individu, masyarakat dan kepentingan bangsa dan negara


B.  Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan di Indonesia

Dalam kajia hukum, tata urutan peraturan perundang-undangan disusun berdasarkan pandangan bahwa sistem hukum merupakan sistem hierarki dengan kaidah berjenjang dimana norma hukum yang paling rendah harus berpegangan pada norma hukum yang lebih tinggi. Hal ini sesuai Teori Stufenbau (Stufen Theory) atau yang dipopulerkan oleh ahli ilmu hukum yang bernama Hans Kelsen yang menyatakan bahwa sistem hukum merupakan sistem anak tangga dengan kaidah berjenjang dimana norma hukum yang paling rendah harus berpegangan pada norma hukum yang lebih tinggi, dan kaidah hukum yang tertinggi (seperti konstitusi) harus berpegangan pada norma hukum yang paling mendasar (grundnorm). Menurut Kelsen norma hukum yang paling dasar (grundnorm) bentuknya tidak kongkrit (abstrak) .Contoh norma hukum paling dasar abstrak adalah Pancasila.

Bagaimana susunan tata urutan perundang-undangan di Indonesia? Berdasarkan    Tap MPRS NO. XX/MPRS/1996 tentang Memorandum DPR-GR mengenai sumber tertib hukum Republik Indonesia dan tata urutan perundang-undangan Republik Indonesia. Tata urutan peraturan perundang-undangan RI yaitu
1)  UUD 1945;
2)  Ketetapan MPR;
3)  Undang-Undang;
4)  Peraturan Pemerintah (PP);
5)  Keputusan Presiden;
6)  Peraturan Pelaksana yang terdiri dari : Peraturan Menteri dan Instruksi Menteri.
Catatan: Ketentuan dalam Tap MPR ini sudah tidak berlaku.

Berdasarkan Tap MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Undang-Undang, Tata urutan peraturan perundang-undangan RI yaitu :
1)  UUD 1945;
2)  Tap MPR;
3)  Undang-Undang
4)  Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu);
5)  Peraturan Pemerintah (PP)
6)  Keppres;
7)  Peraturan Daerah;
Ketentuan dalam Tap MPR ini sudah tidak berlaku.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan., Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia adalah sebagai berikut :
1)  UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2)  Undang-Undang / Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu);
3)  Peraturan Pemerintah;
4)  Peraturan Presiden;
5)  Peraturan Daerah.
Catatan: Ketentuan dalam Undang-Undang ini sudah tidak berlaku.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia adalah sebagai berikut:
1)  UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2)  Ketetapan MPR;
3)  Undang-Undang / Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu);
4)  Peraturan Pemerintah (PP)
5)  Peraturan Presiden;
6)  Peraturan Daerah Provinsi;
7)  Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. 



Lalu, aturan mana terkait Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan di Indonesia yang saat ini berlaku? Tentunya aturan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011. Ketentuan ini sesuai asas dan prinsip hukum bahwa peraturan atau Undang-Undang terbaru yang mengatur persoalan yang sama menggantikan peraturan atau Undang-Undang yang ada sebelumnya. Hal ini dipertegas dalam Pasal  102 dimana berbunyi : “Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang- Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4389), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku”.

Sehingga dengan adanya Undang-undang Nomor 12 tahun 2011 ini menggantikan Undang-undang yang lama yaitu Undang-undang Nomor 10 tahun 2004 dan peraturan yang ada sebelumnya.

Penjelasan lebih lanjut mengenai urutan perundangan-undangan ini adalah sebagai berikut:

1.  UUD 1945
Undang-Undang Dasar 1945 merupakan Hukum Dasar tertulis Negara Kesatuan Republik Indonesia dan berfungsi sebagai sumber hukum tertinggi. Menurut. L.J. van Apeldom, Undang-Undang Dasar adalah bagian tertulis dari suatu konstitusi. Sementara itu E.C.S. Wade menyatakan, bahwa Undang-Undang Dasar adalah naskah yang memaparkan rangka dan tugas-tugas pokok dan badan-badan pemerintahan suatu negara dan menentukan pokok-pokok cara kerja badan-badan tersebut. Miriam Budiardjo, menyatakan bahwa Undang­Undang Dasar memuat ketentuan-ketentuan mengenai organisasi negara, hak-hak asasi manusia, prosedur mengubah UUD dan memuat larangan untuk mengubah sifat tertentu dari Undang-Undang Dasar.
Dalam tata peraturan perundang-undangan di negara Indonesia, menurut Miriam Budiardjo ( 1981: 106-107) Undang-Undang Dasar 1945 mempunyai kedudukan yang istimewa dibandingkan dengan undang-undang lainnya, hal ini dikarenakan
a)    UUD dibentuk menurut suatu cara istimewa yang berbeda dengan pembentukan UU biasa
b)    UUD dibuat secara istimewa untuk itu dianggap sesuatu yang luhur.
c)    UUD adalah piagam yang menyatakan cita-cita bangsa Indonesia dan merupakan dasar organisasi kenegaraan suatu bangsa

2. Ketetapan MPR

Ketetapan MPR adalah ketetapan yang dikeluarkan MPR sebagai konsekuensi dari tugas, kedudukan dan kewenangan MPR sesuai UUD 1945.

Adapun yang  dimaksud  Ketetapan MPR yang menjadi sumber hukum menurut penjelasan UU No 12 tahun 2011 adalah adalah  Ketetapan  Majelis Permusyawaratan  Rakyat Sementara  dan  Ketetapan Majelis  Permusyawaratan  Rakyat      yang  masih  berlaku sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  2  dan  Pasal  4 Ketetapan  Majelis  Permusyawaratan  Rakyat    Republik Indonesia  Nomor:  I/MPR/2003  tentang  Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum   Ketetapan Majelis Permusyawaratan  Rakyat  Sementara  dan  Ketetapan Majelis  Permusyawaratan  Rakyat    Tahun  1960  sampai dengan Tahun 2002, tanggal 7 Agustus 2003.

3.  Undang-Undang
Undang-undang merupakan peraturan perundang-undangan untuk melaksanakan UUD 1945. Yang berwenang membuat UU adalah DPR bersama Presiden. Adapun kriteria agar suatu masalah diatur dengan UU antara lain :
a)    UU dibentuk atas perintah ketentuan UUD 1945,
b)    UU dibentuk atas perintah Ketetapan MPR,
c)    UU dibentuk atas perintah ketentuan UU terdahulu,
d)    UU dibentuk dalam rangka mencabut, mengubah dan menambah UU yang sudah ada,
e)    UU dibentuk karena berkaitan dengan hak sasai manusia,
f)      UU dibentuk karena berkaitan dengan kewajiban atau kepentingan orang banyak.

Adapun materi  muatan  yang  harus  diatur  dengan  Undang-Undang berisi:
a.  pengaturan  lebih  lanjut  mengenai  ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 
b.  perintah  suatu  Undang-Undang  untuk  diatur dengan Undang-Undang;
c.  pengesahan perjanjian internasional tertentu;
d.  tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi; dan/atau
e.  pemenuhan  kebutuhan  hukum  dalam masyarakat.

4.   Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu)
Peraturan Pemerintah pengannti Undang-Undang (PERPU) dibentuk oleh presiden tanpa terlebih dahulu rnendapat persetujuan DPR. Hal ini dikarenakan PERPU dibuat dalam keadaan "darurat" dalam arti persoalan yang muncul harus segera ditindaklanjuti. Namun demikian pada akhirnya PERPU tersebut harus diajukan ke DPR untuk mendapatkan persetujuan. ladi bukan berarti presiden dapat seenaknya mengeluarkan PERPPU, karena pada akhirnya harus diajukan kepada DPR pada persidangan berikutnya. Sebagai lembaga legislatif DPR dapat menerima atau menolak PERPPU yang diajukan Presiden tersebut, konsekwensinya kalau PERPPU tersebut ditolak, harus dicabut, dengan kata lain harus dinyakan tidak berlaku lagi

Materi muatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang sama dengan materi muatan Undang-Undang, yakni:
a.  pengaturan  lebih  lanjut  mengenai  ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 
b.  perintah  suatu  Undang-Undang  untuk  diatur dengan Undang-Undang;
c.  pengesahan perjanjian internasional tertentu;
d.  tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi; dan/atau
e.  pemenuhan  kebutuhan  hukum  dalam masyarakat.


5.  Peraturan Pemerintah (PP)
Untuk melaksanakan suatu undang-undang, maka dikeluarkanlah Peraturan Pemerintah. Jadi peraturan pemerintah tersebut merupakan bentuk pelaksanaan dari suatu undang-undang. Itulah sebabnya materi muatan Peraturan  Pemerintah (PP) berisi materi untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya. 

Adapun kriteria untuk dikeluarkannya Peraturan pemerintah adalah sebagai berikut :
a)   PP tidak dapat dibentuk tanpa adanya UU induknya,
b)   PP tidak dapat mencantumkan sanksi pidana. jika UU induknya tidak mencantumkan sanksi pidana,
c)   PP tidak dapat memperluas atau mengurangi ketentuan UU induknya.
d)   PP dapat dibentuk meskipun UU yang bersangkutan tidak menyebut  ­secara tegas, asal PP tersebut untuk melaksanakan UU,


6.  Peraturan Presiden
Peraturan  Presiden  merupakan peraturan perundang-undangan yang dibentuk Presiden berdasarkan pasal 4 UUD 1945. Dilihat dari sifatnya Presiden  dapat membuat dua macam keputusan yaitu yang bersifat pengaturan dan yang bersifat penetapan. Yang termasuk jenis peraturan perundang-undangan adalah keputusan presiden yang bersfat pengaturan atau yang dikenal dengan Peraturan Presiden .

Materi  muatan  Peraturan  Presiden  berisi  materi  yang diperintahkan  oleh  Undang-Undang,  materi  untuk melaksanakan  Peraturan  Pemerintah,  atau  materi  untuk melaksanakan penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan.


7.  Peraturan Daerah (Perda)
Peraturan Daerah adalah peraturan yang dibuat oleh Pemerintah daerah Propinsi dan daerah Kabupaten dan/atau Daerah Kota. Masuknya Peraturan Daerah dibuat untuk melaksanakan peraturan perundang­undangan yang lebuh tinggi. Selain itu Peraturan daerah inijuga dibuat dalam rangka melaksanakan kebutuhan daerah. Dengan demikian kalau Peraturan Daerah terse but dibuat sesuai kebutuhan daerah, dimungkinkan Perda yang berlaku di suatu daerah KabupatenlKota belum tentu diberlakukan di daerah kabupaten/ kota lain.

Materi muatan Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah  Kabupaten/Kota  berisi  materi  muatan  dalam rangka  penyelenggaraan  otonomi  daerah  dan  tugas pembantuan  serta  menampung  kondisi  khusus  daerah dan/atau  penjabaran  lebih  lanjut  Peraturan  Perundang-undangan yang lebih tinggi.


C. Proses Pembuatan Peraturan Perundang-undangan Indonesia

1. Proses pembentukan Undang-Undang
Undang-undang adalah peraturan perundangan, yang dalam pembentukannya Presiden harus mendapat persetujuan DPR. Ketentuan tersebut diatur dalam UUD 1945 Pasal 5 Ayat 1 "Presiden berhak mengajukan Rancangan Undang-Undang kepada DPR", Pasal20 Ayat 1 "DPR memegang kekuasaan membentuk UU" dan Pasal 20 Ayat 2 "Setiap RUU dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama" .

Dalam pembentukan suatu undang-undang, sebagaimana diatur dalam undang-undang nomor 12 tahun 2011, maka tahap-tahapnya meliputi:

a. Tahap penyusunan Rancangan  Undang-Undang  meliputi:
1)    Rancangan  Undang-Undang  dapat  berasal  dari  DPR atau  Presiden. 
2)    Rancangan  Undang-Undang  yang  berasal  dari  DPR sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1)  dapat  berasal dari DPD.
3)    Rancangan  Undang-Undang  yang  berasal  dari  DPR, Presiden, atau DPD harus disertai Naskah Akademik. Terdapat 3 jenis RUU yang tidak harus disertai Naskah Akademik namun haruss disertai  dengan  keterangan  yang memuat  pokok  pikiran  dan  materi  muatan  yang diatur yakni: a) RUU Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara; b)  penetapan  Peraturan  Pemerintah  Pengganti Undang-Undang menjadi Undang-Undang; atau c)  pencabutan  Undang-Undang  atau  pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.
4)    Rancangan  Undang-Undang,  baik  yang  berasal  dari DPR  maupun  Presiden  serta  Rancangan  Undang-Undang  yang  diajukan  DPD  kepada  DPR  disusun berdasarkan Prolegnas (Program  Legislasi  Nasional). Adapun Rancangan  Undang-Undang  yang  diajukan  oleh  DPD berkaitan dengan: a)  otonomi daerah;  b)  hubungan pusat dan daerah;  c)  pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah; d)  pengelolaan  sumber  daya  alam  dan  sumber  daya ekonomi lainnya; dan  e)  perimbangan keuangan pusat dan daerah.
5)    Rancangan  Undang-Undang  dari  DPR  diajukan  oleh anggota  DPR,  komisi,  gabungan  komisi,  atau  alat kelengkapan  DPR  yang  khusus  menangani  bidang legislasi atau DPD.  Kemudian dilakukan pengharmonisasian,  pembulatan,  dan  pemantapan konsepsi  Rancangan  Undang-Undang  yang  berasal dari DPR dikoordinasikan oleh alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi. 
6)    Rancangan  Undang-Undang  yang  diajukan  oleh Presiden  disiapkan  oleh  menteri  atau  pimpinan lembaga  pemerintah  nonkementerian  sesuai  dengan lingkup tugas dan tanggung jawabnya.  Dalam  penyusunan  Rancangan  Undang-Undang, menteri  atau  pimpinan  lembaga  pemerintah nonkementerian  terkait  membentuk  panitia antarkementerian dan/atau antarnonkementerian. Kemudian dilakukan   Pengharmonisasian,  pembulatan,  dan  pemantapan konsepsi  Rancangan  Undang-Undang  yang  berasal dari  Presiden  dikoordinasikan  oleh  menteri  yang menyelenggarakan  urusan  pemerintahan  di  bidang hukum.
7)    Rancangan  Undang-Undang  dari  DPD  disampaikan secara  tertulis  oleh  pimpinan  DPD  kepada  pimpinan DPR dan harus disertai Naskah Akademik.  Usul  Rancangan  Undang-Undang  dari  DPD  disampaikan  oleh  pimpinan DPR  kepada  alat  kelengkapan  DPR  yang  khusus menangani  bidang  legislasi  untuk  dilakukan pengharmonisasian,  pembulatan,  dan  pemantapan konsepsi Rancangan Undang-Undang.    Untuk selanjutnya Alat kelengkapan DPR dalam  melakukan  pengharmonisasian,  pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Undang-Undang dapat  mengundang  pimpinan  alat  kelengkapan  DPD yang  mempunyai  tugas  di  bidang  perancangan Undang-Undang  untuk  membahas  usul  Rancangan Undang-Undang yang diajukan DPD.
8)    Rancangan  Undang-Undang  dari  DPR  disampaikan dengan surat pimpinan DPR kepada Presiden.  Presiden  menugasi  menteri  yang  mewakili  untuk membahas  Rancangan  Undang-Undang  bersama  DPR dalam jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari terhitung sejak surat pimpinan DPR diterima.  Kemudian Menteri yang mendapat tugas dari Presiden mengoordinasikan  persiapan  pembahasan  dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum. 
9)    Rancangan  Undang-Undang  dari  Presiden  diajukan dengan surat Presiden kepada pimpinan DPR.  Surat  Presiden  tersebut memuat  penunjukan  menteri  yang  ditugasi  mewakili Presiden  dalam  melakukan  pembahasan  Rancangan Undang-Undang bersama DPR.  DPR  mulai  membahas  Rancangan  Undang-Undang yang diajukan presiden dalam  jangka waktu  paling  lama  60  (enam  puluh)  hari  terhitung sejak surat Presiden diterima.  Untuk  keperluan  pembahasan  Rancangan  Undang-Undang  di  DPR,  menteri  atau  pimpinan  lembagapemrakarsa  memperbanyak  naskah  RancanganUndang-Undang  tersebut  dalam  jumlah  yang diperlukan. 
10)Apabila  dalam  satu  masa  sidang  DPR  dan  Presiden menyampaikan  Rancangan  Undang-Undang  mengenai materi  yang  sama,  yang  dibahas  adalah  Rancangan Undang-Undang  yang  disampaikan  oleh  DPR  dan Rancangan  Undang-Undang  yang  disampaikan  Presiden digunakan sebagai bahan untuk dipersandingkan.


b. Tahap penyusunan Pembahasan Rancangan Undang-Undang meliputi:
1)   Pembahasan  Rancangan  Undang-Undang  dilakukan oleh  DPR  bersama  Presiden  atau  menteri  yang ditugasi.
2)   Khusus Pembahasan  Rancangan  Undang-Undang yang  berkaitan dengan: a)  otonomi daerah; b)  hubungan pusat dan daerah; c)   pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; d)  pengelolaan  sumber  daya  alam  dan  sumber  daya ekonomi lainnya; dan e) perimbangan keuangan pusat dan daerah,  pada pembicaraan tingkat I dilakukan dengan mengikutsertakan DPD yang diwakili oleh  alat  kelengkapan  yang membidangi  materi  muatan  Rancangan  Undang-Undang yang dibahas.
3)   DPD  memberikan  pertimbangan  kepada  DPR  atas Rancangan  Undang-Undang  tentang  Anggaran Pendapatan  dan  Belanja  Negara  dan  Rancangan Undang-Undang  yang  berkaitan  dengan  pajak, pendidikan, dan agama.
4)   Pembahasan  Rancangan  Undang-Undang  dilakukan melalui 2 (dua) tingkat pembicaraan, yaitu pembicaraan  tingkat  I  dalam  rapat  komisi,  rapat gabungan  komisi,  rapat  Badan  Legislasi,  rapat  Badan Anggaran, atau rapat Panitia Khusus; dan pembicaraan tingkat II dalam rapat paripurna. 
5)   Pembicaraan  tingkat  I  dilakukan  dengan  kegiatansebagai berikut: a)  pengantar musyawarah; b)  pembahasan daftar inventarisasi masalah; dan c)  penyampaian pendapat mini
6)   Dalam pengantar musyawarah a)  DPR  memberikan  penjelasan  dan  Presiden menyampaikan  pandangan  jika  Rancangan Undang-Undang berasal dari DPR; b) DPR  memberikan  penjelasan  serta  Presiden  dan DPD  menyampaikan  pandangan  jika  Rancangan Undang-Undang  yang  berkaitan  dengan kewenangan  DPD berasal dari DPD; c)  Presiden  memberikan  penjelasan  dan  fraksi memberikan  pandangan  jika  Rancangan  Undang-Undang berasal dari Presiden; atau d) Presiden  memberikan  penjelasan  serta  fraksi  dan DPD  menyampaikan  pandangan  jika  Rancangan Undang-Undang  yang  berkaitan  dengan kewenangan  DPD berasal dari Presiden.
7)   Daftar  inventarisasi  masalah diajukan oleh: a)  Presiden  jika Rancangan Undang-Undang berasal dari DPR; atau b)   DPR jika  Rancangan Undang-Undang  berasal  dari Presiden  dengan  mempertimbangkan  usul  dari DPD  sepanjang  terkait  dengan  kewenangan  DPD
8)   Penyampaian  pendapat  mini  disampaikan  pada  akhir pembicaraan tingkat I oleh: a)  fraksi; b)  DPD,  jika  Rancangan  Undang-Undang  berkaitan dengan  kewenangan  DPD; dan c.  Presiden.
9)   Pembicaraan  tingkat  II  merupakan  pengambilan keputusan dalam rapat paripurna dengan kegiatan: a)  penyampaian laporan yang berisi proses, pendapat mini  fraksi,  pendapat  mini  DPD,  dan  hasil pembicaraan tingkat I; b)  pernyataan  persetujuan  atau  penolakan  dari  tiap-tiap  fraksi  dan  anggota  secara  lisan  yang  diminta oleh pimpinan rapat paripurna; dan c) penyampaian  pendapat  akhir  Presiden  yang dilakukan oleh menteri yang ditugasi.
10)      Dalam  hal  persetujuan  tidak  dapat  dicapai  secara musyawarah  untuk  mufakat,  pengambilan  keputusan dilakukan berdasarkan suara terbanyak.
11)      Rancangan  Undang-Undang  tidak mendapat  persetujuan  bersama  antara  DPR  dan Presiden,  Rancangan  Undang-Undang  tersebut  tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan DPR masa itu.
12)      Rancangan  Undang-Undang  dapat  ditarik  kembali sebelum dibahas bersama oleh DPR dan Presiden.   Rancangan  Undang-Undang  yang  sedang  dibahas hanya  dapat  ditarik  kembali  berdasarkan  persetujuan bersama DPR dan Presiden.

c. Tahap Pengesahan Rancangan Undang-Undang

Tahap Pengesahan Rancangan Undang-Undang adalah sebagai berikut:
1)   Rancangan  Undang-Undang  yang  telah  disetujui bersama  oleh  DPR  dan  Presiden  disampaikan  oleh Pimpinan  DPR  kepada  Presiden  untuk  disahkan menjadi Undang-Undang. 
2)   Penyampaian  Rancangan  Undang-Undang dilakukan dalam jangka  waktu  paling  lama  7  (tujuh)  hari  terhitung sejak tanggal persetujuan bersama.
3)   Rancangan  Undang-Undang  sebagaimana  dimaksud dalam  Pasal  72  disahkan  oleh  Presiden  dengan membubuhkan  tanda  tangan  dalam  jangka  waktu paling  lama  30  (tiga  puluh)  hari  terhitung  sejak Rancangan  Undang-Undang  tersebut  disetujui bersama oleh DPR dan Presiden.
4)   Dalam  hal  Rancangan  Undang-Undang  tidak  ditandatangani  oleh Presiden dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung  sejak  Rancangan  Undang-Undang  tersebut disetujui  bersama,  Rancangan  Undang-Undang tersebut  sah  menjadi  Undang-Undang  dan  wajib diundangkan.
5)   Dalam  hal  sahnya  Rancangan  Undang-Undang kalimat pengesahannya  berbunyi:  Undang-Undang  ini dinyatakan  sah  berdasarkan  ketentuan  Pasal  20  ayat (5)  Undang-Undang  Dasar  Negara  Republik  Indonesia Tahun 1945.
6)   Kalimat  pengesahan  tersebut  harus  dibubuhkan  pada halaman  terakhir  Undang-Undang  sebelum pengundangan  naskah  Undang-Undang  ke  dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. 

2. Proses Penyusunan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

Peraturan Pemerintah pengannti Undang-Undang (PERPU) dibentuk oleh presiden yang dibuat dalam keadaan "darurat" dalam arti persoalan yang muncul harus segera ditindaklanjuti.

Adapun Proses Penyusunan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang sesuai UU nomor 11 Tahun 2012 adalah sebagai berikut:
1)    Peraturan Pemerintah pengannti Undang-Undang (PERPU) dibentuk oleh presiden yang dibuat dalamkeadaan "darurat" dalam arti persoalan yang muncul harus segera ditindaklanjuti.
2)    Peraturan  Pemerintah  Pengganti  Undang-Undang harus  diajukan  ke  DPR  dalam  persidangan  yang berikut.
3)    Pengajuan  Peraturan  Pemerintah  Pengganti  Undang-Undang  dilakukan  dalam  bentuk  pengajuan  Rancangan Undang-Undang  tentang  penetapan  Peraturan Pemerintah  Pengganti  Undang-Undang  menjadi Undang-Undang.
4)    DPR  hanya  memberikan  persetujuan  atau  tidak memberikan  persetujuan  terhadap  Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.
5)    Dalam  hal  Peraturan  Pemerintah  Pengganti  Undang-Undang  mendapat  persetujuan  DPR  dalam  rapat paripurna,  Peraturan  Pemerintah  Pengganti  Undang-Undang tersebut ditetapkan menjadi Undang-Undang.
6)    Dalam  hal  Peraturan  Pemerintah  Pengganti  Undang-Undang  tidak  mendapat  persetujuan  DPR  dalam rapat  paripurna,  Peraturan  Pemerintah  Pengganti Undang-Undang  tersebut  harus  dicabut  dan  harus dinyatakan tidak berlaku.
7)    Dalam  hal  Peraturan  Pemerintah  Pengganti  Undang-Undang  harus  dicabut  dan  harus  dinyatakan  tidak berlaku,  DPR atau  Presiden  mengajukan  Rancangan  Undang-Undang  tentang  Pencabutan  Peraturan  Pemerintah Pengganti Undang-Undang.
8)    Rancangan  Undang-Undang  tentang  Pencabutan Peraturan  Pemerintah  Pengganti  Undang-Undang mengatur segala akibat hukum dari pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.
9)    Rancangan  Undang-Undang  tentang  Pencabutan Peraturan  Pemerintah  Pengganti  Undang-Undang ditetapkan menjadi  Undang-Undang  tentang  Pencabutan Peraturan  Pemerintah  Pengganti  Undang-Undang dalam  rapat  paripurna.
10)Pembahasan  Rancangan  Undang-Undang  tentang Penetapan  Peraturan  Pemerintah  Pengganti  Undang-Undang  dilaksanakan  melalui  mekanisme  yang  sama dengan pembahasan Rancangan Undang-Undang.
11)Pembahasan  Rancangan  Undang-Undang  tentang Pencabutan  Peraturan  Pemerintah  Pengganti  Undang-Undang  dilaksanakan  dengan tata cara: a)  Rancangan  Undang-Undang  tentang  Pencabutan Peraturan  Pemerintah  Pengganti  Undang-Undang  diajukan oleh DPR atau Presiden; b)  Rancangan  Undang-Undang  tentang  Pencabutan diajukan pada saat Rapat Paripurna DPR tidak memberikan persetujuan  atas  Peraturan  Pemerintah  Pengganti Undang-Undang yang diajukan oleh Presiden; dan c) Pengambilan  keputusan  persetujuan  terhadap Rancangan  Undang-Undang  tentang  Pencabutan dilaksanakan  dalam  Rapat  Paripurna  DPR  yang sama  dengan  rapat  paripurna  penetapan  tidak memberikan  persetujuan  atas  Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tersebut.

3. Proses Penyusunan Peraturan Pemerintah
Berikut ini Proses Penyusunan Peraturan Pemerintah sesuai UU nomor 11 Tahun 2012 adalah sebagai berikut:
1)    Dalam  penyusunan  Rancangan  Peraturan Pemerintah,  pemrakarsa  membentuk  panitia antarkementerian  dan/atau  lembaga pemerintah nonkementerian.
2)    Pengharmonisasian,  pembulatan,  dan  pemantapan konsepsi  Rancangan  Peraturan  Pemerintah dikoordinasikan  oleh  menteri  yang  menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum.




4. Proses Penyusunan Peraturan Presiden
Berikut ini Proses Penyusunan Peraturan  Presiden sesuai UU nomor 11 Tahun 2012 adalah sebagai berikut:
1)    Dalam  penyusunan  Rancangan  Peraturan  Presiden, pemrakarsa  membentuk  panitia  antarkementerian dan/atau antarnonkementerian,
2)    Pengharmonisasian,  pembulatan,  dan  pemantapan konsepsi  Rancangan  Peraturan  Presiden dikoordinasikan  oleh  menteri  yang  menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum.


5. Proses Penyusunan Peraturan Daerah Provinsi
a. Proses Penyusunan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi Proses Penyusunan Peraturan Daerah Provinsi
Berikut ini Proses Penyusunan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi sesuai UU nomor 11 Tahun 2012 adalah sebagai berikut:
1)    Rancangan  Peraturan  Daerah  Provinsi  dapat  berasal dari DPRD Provinsi atau Gubernur. 
2)    Rancangan  Peraturan  Daerah  Provinsi  disertai  dengan  penjelasan atau keterangan dan/atau Naskah Akademik.
3)    Dalam  hal  Rancangan  Peraturan  Daerah  Provinsi mengenai a)  Anggaran  Pendapatan  dan  Belanja  Daerah Provinsi; b) Pencabutan Peraturan Daerah Provinsi; atau  c) perubahan Peraturan Daerah Provinsi yang hanya terbatas mengubah beberapa materi, tidak disertai naskah akademik namun harus disertai keterangan  yang  memuat  pokok pikiran dan materi muatan yang diatur.
4)    Penyusunan  Naskah  Akademik  Rancangan  Peraturan Daerah  Provinsi  dilakukan  sesuai  dengan  teknik penyusunan Naskah Akademik. 
5)    Pengharmonisasian,  pembulatan,  dan  pemantapan konsepsi  Rancangan  Peraturan  Daerah  Provinsi  yang berasal  dari  DPRD  Provinsi  dikoordinasikan  oleh  alat kelengkapan  DPRD  Provinsi  yang  khusus  menangani bidang legislasi.
6)    Pengharmonisasian,  pembulatan,  dan  pemantapan konsepsi  Rancangan  Peraturan  Daerah  Provinsi  yang berasal  dari  Gubernur  dikoordinasikan  oleh  biro hukum dan dapat mengikutsertakan instansi vertikal dari  kementerian  yang  menyelenggarakan  urusan pemerintahan di bidang hukum.
7)    Rancangan  Peraturan  Daerah  Provinsi  dapat  diajukan oleh  anggota,  komisi,  gabungan  komisi,  atau  alat kelengkapan  DPRD  Provinsi  yang  khusus  menangani bidang legislasi.
8)    Rancangan  Peraturan  Daerah  Provinsi  yang  telah disiapkan  oleh  DPRD  Provinsi  disampaikan  dengan surat pimpinan DPRD Provinsi kepada Gubernur. 
9)    Rancangan  Peraturan  Daerah  yang  telah  disiapkan oleh  Gubernur  disampaikan  dengan  surat  pengantar Gubernur kepada pimpinan DPRD Provinsi.
10)Apabila  dalam  satu  masa  sidang  DPRD  Provinsi  dan Gubernur  menyampaikan  Rancangan  Peraturan  Daerah Provinsi mengenai materi yang sama, yang dibahas adalah Rancangan  Peraturan  Daerah  Provinsi  yang  disampaikan oleh  DPRD  Provinsi  dan  Rancangan  Peraturan  Daerah Provinsi  yang  disampaikan  oleh  Gubernur  digunakan sebagai bahan untuk dipersandingkan.

b. Proses Pembahasan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi Proses Penyusunan Peraturan Daerah Provinsi
1)   Pembahasan  Rancangan  Peraturan  Daerah  Provinsi dilakukan oleh DPRD Provinsi bersama Gubernur.
2)   Pembahasan  bersama  dilakukan  melalui  tingkat-tingkat pembicaraan.
3)   Tingkat-tingkat  pembicaraan  dilakukan  dalam  rapat komisi/ panitia/ badan/ alat  kelengkapan  DPRD Provinsi  yang  khusus  menangani  bidang  legislasi  dan rapat paripurna.
4)   Rancangan  Peraturan  Daerah  Provinsi  dapat  ditarik kembali sebelum dibahas bersama oleh DPRD Provinsi dan Gubernur.
5)   Rancangan  Peraturan  Daerah  Provinsi  yang  sedang dibahas  hanya  dapat  ditarik  kembali  berdasarkan persetujuan bersama DPRD Provinsi dan Gubernur. 

c. Proses Penetapan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi Proses Penyusunan Peraturan Daerah Provinsi
1.   Rancangan  Peraturan  Daerah  Provinsi  yang  telah disetujui  bersama  oleh  DPRD  Provinsi  dan  Gubernur disampaikan  oleh  pimpinan  DPRD  Provinsi  kepada Gubernur untuk ditetapkan menjadi Peraturan Daerah Provinsi.
2.   Penyampaian  Rancangan  Peraturan  Daerah  Provinsi dilakukan dalam jangka  waktu  paling  lama  7  (tujuh)  hari  terhitung sejak tanggal persetujuan bersama.
3.   Rancangan  Peraturan  Daerah  Provinsi  ditetapkan  oleh  Gubernur dengan  membubuhkan  tanda  tangan  dalam  jangka waktu  paling  lama  30  (tiga  puluh)  hari  sejak Rancangan  Peraturan  Daerah  Provinsi  tersebut disetujui bersama oleh DPRD Provinsi dan Gubernur.
4.   Dalam  hal  Rancangan  Peraturan  Daerah  Provinsi tidak ditandatangani  oleh  Gubernur  dalam  waktu  paling lama  30  (tiga  puluh)  hari  sejak  Rancangan  Peraturan Daerah  Provinsi  tersebut  disetujui  bersama, Rancangan  Peraturan  Daerah  Provinsi  tersebut  sah menjadi  Peraturan  Daerah  Provinsi  dan  wajib diundangkan.
5.   Dalam  hal  sahnya  Rancangan  Peraturan  Daerah Provinsi, kalimat pengesahannya  berbunyi:  Peraturan  Daerah  ini dinyatakan sah. 
6.   Kalimat  pengesahan  tersebut  harus  dibubuhkan  pada halaman  terakhir  Peraturan  Daerah  Provinsi  sebelum pengundangan  naskah  Peraturan  Daerah  Provinsi dalam Lembaran Daerah

6. Proses Penyusunan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota

Pada prinsipnya proses penyusunan rancangan, pembahasan dan penetapan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota sesuai UU nomor 11 Tahun 2012 sama seperti penyusunan, pembahasan dan peetapan rancangan Peraturan  Daerah Provinsi.

Follow Us @soratemplates