Rabu, 01 November 2017

# B.INDONESIA

Tema ketertiban

Tema ketertiban
 
A.    Pengertian Ketertiban
Ketertiban asal kata tertib yang berarti teratur; menurut aturan; rapi. Sedangkan ketertiban yaitu peraturan (dl masyarakat dsb); atau keadaan serba teratur baik. Ketertiban adakalanya diartikan sebagai “ketertiban, Kesejahteraan, dan Keamanan”, atau disamakan dengan ketertiban umum, atau synonym dari istilah “keadilan”. Ketertiban umum Dalam bukunya “Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia” Prof.Dr S.Gautama mengibaratkan lembaga ketertiban umum ini sebagai “rem darurat” yang kita ketemukan pada setiap kereta api. Pemakainya harus secara hati-hati dan seirit mungkin karena apabila kita terlampau lekas menarik rem darurat ini, maka “kereta HPI” tidak dapat berjalan dengan baik.
Lebih lanjut S.Gautama mengatakan bahwa lembaga ketertiban umum ini digunakan jika pemakaian dari hukum asing berarti suatu pelanggaran yang sangat daripada sendi-sendi azasi hukum nasional hakim. Maka dalam hal-hal pengecualian, hakim dapat menyampingkan hukum asing ini.
Manusia adalah makhluk social yang selau berinteraksi dan membutuhkan bantuan dengan sesamanya. Dengan adanya hubungan sesame seperti itulah perlu adanya keteraturan sehingga individu dapat berhubungan secara harmoni dengan individu lain sekitarnya. Oleh karena itu diperlukan aturan yang disebut “Hukum”. Hukum diciptakan dengan tujuan yang berbeda-beda, ada yang menyatakan bahwa tujuan hukum adalah keadilan, ada juga yang menyatakan kegunaan, ada yang menyatakan kepastian hukum, dll.
Hukum yang ada kaitannya dengan masyarakat mempunyai tujuan utama yaitu dapat direduksi untuk ketertiban (order). Menurut Mochtar Kusumaatmadja “Ketertibaban” adalah tujuan pokok dan pertama dari segala hukum, Kebutuhan terhadap ketertiban ini merupakan syarat pokok(fundamental)bagi adanya suatu masyarakat manusia yang teratur, ketertiban sebagai tujuan hukum, merupakan fakta objektif yang berlaku bagi segala masyarakat manusia dalam segala bentuknyauntuk mencapai ketertiban ini diperlukan adnaya kepastian dalam pergaulan antar manusia dalam masyarakat.
B.     Ketertiban Dalam Hidup
Di setiap aspek kehidupan sudah barang tentu terdapat sebuah aturan yang mengatur. Baik di lingkungan keluarga, masyarakat, sekolah, atau pun di bidang sosial, politik maupun agama. Kenapa? Karena dengan adanya aturan akan menciptakan ketertiban dan membuat keadaan menjadi lebih tenang, damai, aman, dan sentosa. Bahkan, dengan  adanya ketertiban itulah terselenggaralah kehidupan di dunia dan alam semesta ini.
Aturan merupakan sebuah kata yang mempunyai makna sesuatu yang harus dipatuhi. Aturan juga disebut dengan norma. Sebuah norma adalah sebuah aturan, patokan atau ukuran, taitu sesuatu yang bersifat pasti dan tidak berubah. Dengan adanya norma kita dapat memperbandingkan sesuatu hal lain yang hakikatnya, ukurannya, serta kualitasnya kita ragukan. Norma berguna untuk menilai baik-buruknya tindakan masyarakat sehari-hari. Sebuah norma bisa bersifat objektif dan bisa pula bersifat subjektif. BIla norma objektif adalah norma yang dapat diterapkan diterapkan secara langsung apa adanya, maka norma subjektif adalah norma yang bersifat moral dan tidak dapat emmberikuan ukuran atau patokan yang memadai.
Aturan bisa diterapakan dalam kehidupan keluarga agar tercipta kehidupan rumah tangga yang berjalan tentram, indah, bersih, dan bahagia. Aturan juga terdapat pada Negara yang disebut dengan undang-undang. Dalam kehidupan masyarakat, sesuatu yang bersifat mengatur disebut hukum. Dengan adanya hukum itulah terjadi ketertiban dan ketentraman dalam kehidupan masyarakat. Bila hukum tidak ada atau tidak berfungsi, maka akan terjadi hukum rimba. Siapa kuat dialah yang berkuasa. Tentunya, ini akan berbahaya. Bahaya dari hukum rimba itu adalah anarki, dan kekacauan sosial akan terjadi dimana-mana. Sedikit lebih rendah dari norma, hukum dalam masyarakat juga berlaku sebagai norma sopan-santun yang mencerminkan etika seseorang.
Sesuatu yang bersifat aturan juga terdapat dalam alam semesta. Kita mengenal hukum alam, itulah aturan yang bekerja di alam semesta. Ketertiban  alam semesta dikenal di dalam agama Buddha sebagai Niyama artinya Hukum Tertib Kosmis. Sesungguhnya, di dalam segenap bidang kehidupan berlaku aturan dan ketertiban. Ketertiban itu pulalah yang dikuak oleh ilmu pengetahuan lewat teori. Sedangkan hukum-hukum di dalamnya sebagai bidangnya.
Pada tingkat kehidupan materi an-organik berlaku hukum ketertiban fisika yang disebut Utu-Niyama. Pada tingkat organik berlaku hukum ketertiban organik yang disebut Bija-Niyama. Pada tingkat kesadaran dan batiniah berlaku hukum ketertiban  jiwa yang disebut Citta-Niyama. Pada tingkat kehidupan dunia yang sulit terinderakan, gaib, dan bersifat spiritual juga ada hukum ketertiban yang terangkum dalam Dharma-Niyama. Dan dalam tingkat perilaku manusia pun memiliki hukum ketertiban yang disebut Karma-Niyama.
Bila dunia semesta saja memiliki ketertiban dan aturan, maka bayangkanlah bila hidup ini tidak ada aturan? Apa yang akan terjadi? Tentunya dunia ini akan kacau dan chaos. Orang akan saling membunuh, saling mencerca, saling fitnah. Perampokan, pencurian, penipuan akan merajalela. Tidak ada lagi jaminan dan perlindungan terhadap hak asasi, tidak ada rasa aman, tidak ada lagi perlindungan terhadap hak milik, tidak ada lagi kebenaran. Semua serba kacau dan orang akan melakukan sesuatu dengan sesuka hatinya. Tidak ada bedanya antara benar dan salah, tidak ada bedanya antara kebijaksanaan dan keegoisan, antara giat dan malas, antara sukses dan gagal.
Oleh karena itu aturan sangat penting bagi kehidupan manusia. Karena aturan itu akan menciptakan kedamaian, ketentraman. Aturan juga harus jelas, sehingga antara yang menjalankan maupan yang melanggarnya tahu akan akibat dari pelanggaran aturan yang ia lakukan. Ketertiban pada prinsipnya dapat membuat seseorang disiplin, sebab Ketertiban dan Kedisiplinan sebagai Landasan Kemajuan tertib dan disiplin adalah matra yang amat menentukan keberhasilan sebuah proses pencapaian tujuan. Dengan ketertiban, kita berusaha mengetahui dan mencermati aturan agar perjalanan menjadi lebih lancar. Disiplin adalah sikap yang diperlukan untuk menjalani proses tersebut.
C.    Ketertiban dapat membawa kedamaian dan kebahagiaan
Sebelum kita masuk kepada bagaimana konsep ketertiban yang membawa kedamaian dan kebahagiaan sekaligus, kita lihat dulu tujuan akhir dari konsep yang hendak dicapai yakni kebahagiaan. Menurut Hans Kelsen kebahagiaan sosial merupakan kedilan. Lalu lebih lanjut Kelsen menjelaskan bahwa konsep keadilan merupakan sebuah konsep pertimbangan nilai yang bersifat subjektif.
Apa arti sesungguhnya dari pernyataan bahwa tatanan sosial tertentu merupakan sebuah tatanan sosial yang adil? Pernyataan ini berarti bahwa tatanan tersebut mengatur perbuatan manusia dengan cara yang memuaskan bagi semua orang sehingga mereka semua menemukan kebahagiaan di dalamnya. Kerinduan akan kedilan merupakan kerinduan abadi manusia akan kebahagiaan.
Kebahagiaan ini tidak dapat ditemukan oleh manusia sebagai seorang individu terisolasi dan oleh sebab itu ia berusaha mencarinya di dalam masyarakat. Roscoe Pound berpendapat tatanan hukum yang adil adalah tatanan hukum yang mengamankan dan melindungi berbagai kepentingan kodifikasi hukum tradisional yang diwarisi sesuai kondisi sosial yang ada.
Namun menurut Kelsen bahwa jelaslah tidaklah mungkin ada ada tatanan yang adil, yakni tatanan yang memberikan kebahagiaan bagi setiap individu, bila kita mendefenisikan kebahagiaan dari pengertian aslinya yang sempit tentang kebahagiaan perseorangan, mengartikan kebahagiaan sesorang sebagai apa yang menurutnya memang demikian. Karena itu tidak dipungkiri bahwa pada suatu saat kebahagiaan seseorang akan bertentangan secara langsung dengan kebahagiaan orang lain. Jadi tidak mungkin pula ada suatu tatanan yang adil meskipun atas dasar anggapan bahwa tatanan ini berusaha menciptakan kebahagiaan bukan atas kepada setiap orang perorangan. Menurut Kelsen yang dapat dikatakan adil adalah sebuah “legalitas” dari suatu aturan yang diterapkan terhadap semua kasus yang memang menurut isinya aturan ini yang harus diterapkan.
Berdasar atas rasio berpikir tersebut jelaslah bahwa keadilan merupakan suatu pandangan yang nisbi adanya dan hanya dapat dinilai dengan penilaian secara emosional. Namun masihlah lebih baik jika pandangan yang subjektif dan nisbi itu bertujuan dapat memberikan keadilan bagi sebanyak-banyaknya orang, daripada menciptakan sebuah gagasan yang bersifat memaksa tanpa mempertimbangkan perasaan hukum bagi sebanyak-banyaknya orang, maka justru akan membuat keadaan menjadi tidak lebih baik. Hal tersebut merupakan pandangan Jeremi Benthamthe aim of law is the greates happiness for the greates number”. Dan dengan pandangan itu paling tidak tujuan akhir kebahagiaan yang hendak dicapai dapat dinikmati oleh sebanyak-banyaknya orang dari pada tidak sama sekali.
Akan tetapi menurut John Rawls keadilan yang diinginkan bagi sebanyak-banyaknya orang belum tentu keadilan yang objektif dan diterima secara rasio. Rawls memberi contoh apabila sebagian besar orang lebih menginginkan kondisi sosialnya menghalalkan perbudakan apakah itu bisa dikatakan sbagai keadilan bagi sebanyak-banyaknya orang dan apakah hal itu bisa diterima oleh rasio manusia yang beradab?. Rawls lalu mengemukakan teori keadilan yang kemudian dikenal dengan teori keadilan Rawls, menurutnya keadilan baru bisa didapatkan apabila orang dalam keadaan bebas/ independen dan tidak mengetahui posisinya di dalam sosial. Dalam teori ini kebahagiaan dapat diperoleh dengan prinsip kebebasan bertindak.
Menurut Imam Al-Gazali bahagia itu terdiri atas lima hal yaitu: 1. kebahagiaan akherat, 2. kebahagiaan yang dikarenakan oleh taufiq atau tuntunan dari yang Maha Kuasa (kedua jenis kebahagiaan itu merupakan kebahagiaan yang bersifat transedental) 3. bahagia yang dikarenakan oleh kutamaan akal budi yaitu kecerdasan, 4 keutamaan dari tubuh yaitu kesehatan dan kerupawanan, 5. kesehatan dari luar tubuh yaitu harta, keluarga, sosial dan keturunan (ketiga kebahagiaan itu merupakan kebagiaan yang bersifat lahiriah). Jenis kebahagiaan transedental hanya dapat dicapai pada kondisi sosial yang berkultur religius sementara yang bersifat lahiriah dapat dicapai oleh kelompok masyarakat manapun. Kebahagiaan lahiriah dalam pencapaiannya membutuhkan pola-pola yang tersusun secara sistemik oleh pemegang kendali dalam masyarakat (dalam hal ini pemerintah). Seperti pemerintah harus mengusahakan kesejahteraan bagi rakyatnya, mengusahakan pendidikan yang baik bagi rakyatnya, mengusahakan pelayanan kesehatan yang baik bagi rakyatnya d.l.l. Kebahagiaan yang bersifat transedental bukan berarti tidak dapat membawa kebahagiaan sampai ke alam nyata malah justru kebahagiaan transedental terbukti efektif membawa kebahagiaan itu. Kita sebut saja bagaimana konsep “kesabaran” yang diajarkan dan menjadi dogma dalam penganut agama Islam menjadikan penganutnya mampu untuk mengatasi berbagai hal yang selama ini menjadi masalah sosial, contoh kemiskinan, dalam konsep “sabar” kemiskinan dipandang sebagai cobaan dari yang Maha Kuasa yang mengharuskan orang yang mengalaminya untuk dapat menerima keadaan tersebut dengan hati yang ikhlas sembari berusaha untuk keluar dari kesulitan tersebut, sementara orang-orang mampu di sekitarnya diwajibkan untuk senantiasa membantu orang yang tidak mampu ini. Pembantuan tersebut dikenal dengan istilah Zakat, Infaq, dan sedekah. Kedua hal itu merupakan keseimbangan hidup. Dengan menilik hal tersebut dapat dikatakan bahwa keseimbangan hidup dapat diartikan saling memberi “manfaat”. Atau dengan kata lain tujuan hukum Islam adalah bagaimana memperoleh kemanfaatan dan kemaslahatan ummat.
Menurut F.K. von Savigny sebagai penganut mazhab sejarah keadilan hukum itu tidak dibuat namun tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat. Pendapat ini mempergunakan dasar volkgiest (jiwa rakyat) yang berbeda-beda menurut waktu dan tempat. Jadi menurut teori ini kebahagiaan itu tidak perlu dibuat namun dibiarkan tumbuh dengan sendirinya berdasarkan jiwa rakyat atau volkgiest itu.
Hal selanjutnya adalah persoalan “kedamaian”. Tatanan hukum yang seperti apakah yang dapat menimbulkan kedamaian? Kedamaian dapat ditimbulkan oleh tatanan hukum yang bukan untuk memuaskan kepentingan satu pihak dengan mengorbankan kepentingan pihak yang lain, tetapi menghasilkan satu kompromi antara kepentingan-kepentingan yang bertentangan untuk memperkecil kemungkinan terjadinya friksi. Hanya tatanan hukum yang seperti itulah yang memungkinkan untuk menjamin perdamaian sosial bagi para subjeknya atas suatu dasar yang relatif permanen.
Menurut kaum positivis cita-cita keadilan merupakan sesuatu yang sangat berbeda dari cita-cita pardamaian, ada kecendrungan untuk menyamakan kedua cita-cita tersebut, atau paling tidak menggantikan cita-cita keadilan dengan cita-cita perdamaian. Perdamaian dapat tercapai bila tercipta keteraturan dalm masyarakat. Dengan aturan yang dibuat oleh otoritas tertinggi dari suatu komunitas akan mampu menciptakan kedamaian diantara angggota masyarakatnya, kedamaian ini paling tidak muncul dari rasa takut terhadap sanksi yang mengikuti aturan tersebut. Seperti itulah kaum positivis memaknai hukum dalam membawa perdamaian. Namun jika atas rasio tersebut aturan dibuat maka tujuan untuk mencapai kebahagiaan akan sulit tercapai
Kedamaian dapat diciptakan dengan barbagai peraturan yang mana peraturan itu tentunya tidak mengandung tendensi tertentu bagi kalangan tertentu pula. Lalu bagaimana cara agar aturan yang dibuat tidak menimbulkan tendensi? Disinilah mungkin peran Justice theory dari John Rawls dibutuhkan, pembuat aturan haruslah bebas dan tidak mengetahui kepentingannya dalam aturan yang dibuatnya.
Ketertiban akan senantiasa membawa kedamaian, namun perlu juga digaris bawahi bahwa kedamaian belum tentu membawa kebahagiaan. Lalu ketertiban yang bagaimanakah yang mampu membawa kedamaian sekaligus kebahagiaan. Konsep dasarnya adalah “peraturan”. Tujuan yang hendak dicapai adalah “aturan” yang membawa ketertiban, “aturan” yang membawa kedamaian, “aturan yang membawa kebahagiaan.
Sejak awal dikatakan biasanya peraturan dapat membawa ketertiban dan kita ketahui bahwa ketertiban ini akan membawa kedamaian antar individu dalam komunitas yang diatur tersebut, tak peduli apakah peraturan tersebut sesuai atau tidak sesuai dengan keinginan intern komunitas yang diatur. Jadi yang terpenting adalah bagaimana peraturan yang mampu membawa kebahagiaan. Sebagaimana yang telah dipaparkan di atas bahwa kebahagiaan merupakan hal relatif dan bersifat subjektif. Namun kita bisa mengombinasi teori-teori yang telah dipaparkan di atas untuk menjawab permasalahan ini.  Jeremi Bentham dengan tujuan hukumnya yaitu untuk kebahagiaan bagi sebanyak-banyaknya orang, namun perlu juga memperhatikan kritikan dari John Rawls bahwa keinginan komunitas ini juga haruslah adil dan beradab olehnya justice theory dari Rawls sepertinya tepat digunakan dalam membuat peraturan. Selanjutnya peraturan yang akan dibuat sebaiknya sesuai dengan keinginan masyarakat atau jiwa bangsa (volkgiest) dengan demikian apa yang dikemukakan oleh Roscoe Pound bahwa tatanan hukum yang adil adalah tatanan hukum yang mengamankan dan melindungi berbagai kepentingan kodifikasi hukum tradisional yang diwarisi sesuai kondisi sosial yang ada akan dapat terpenuhi.
Namun di luar dari hal itu semua untuk membantu tugas hukum untuk memgontrol kondisi sosial karena memang hukum hanyalah salah satu alat kontrol sosial, diperlukan pranata lain seperti Pranata Agama. Hal ini diperlukan sebab sebagaimana yang telah dikatakan oleh Hans Kelsen bahwa kebahagiaan itu adalah hal yang bersifat subjektif dan Irrasional. Jika direnungkan apa yang dikemukakan Kelsen tersebut adalah masalah yang membutuhkan solusi. olehnya menurut penulis pencapaian kebahagiaan yang bersifat Subjektif dan Irrasional dapat dicapai dengan pencapaian kebahagiaan yang bersifat transedental. Caranya yakni dengan menggunakan peran ajaran agama.

1 komentar:

  1. halo, saya mau tanya untuk artikel diataas dari buku Prof Sudaro Gautama dgn judul apa ya?? Terimakasih..

    BalasHapus

Follow Us @soratemplates