Tema ketertiban
A.
Pengertian Ketertiban
Ketertiban asal
kata tertib yang berarti teratur; menurut aturan; rapi. Sedangkan ketertiban yaitu peraturan (dl masyarakat dsb); atau keadaan serba teratur baik. Ketertiban adakalanya diartikan
sebagai “ketertiban, Kesejahteraan, dan Keamanan”, atau disamakan dengan
ketertiban umum, atau synonym dari istilah “keadilan”. Ketertiban umum Dalam
bukunya “Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia” Prof.Dr S.Gautama
mengibaratkan lembaga ketertiban umum ini sebagai “rem darurat” yang kita
ketemukan pada setiap kereta api. Pemakainya harus secara hati-hati dan seirit
mungkin karena apabila kita terlampau lekas menarik rem darurat ini, maka
“kereta HPI” tidak dapat berjalan dengan baik.
Lebih lanjut S.Gautama
mengatakan bahwa lembaga ketertiban umum ini digunakan jika pemakaian dari
hukum asing berarti suatu pelanggaran yang sangat daripada sendi-sendi azasi
hukum nasional hakim. Maka dalam hal-hal pengecualian, hakim dapat
menyampingkan hukum asing ini.
Manusia adalah
makhluk social yang selau berinteraksi dan membutuhkan bantuan dengan
sesamanya. Dengan adanya hubungan sesame seperti itulah perlu adanya
keteraturan sehingga individu dapat berhubungan secara harmoni dengan individu
lain sekitarnya. Oleh karena itu diperlukan aturan yang disebut “Hukum”. Hukum
diciptakan dengan tujuan yang berbeda-beda, ada yang menyatakan bahwa tujuan
hukum adalah keadilan, ada juga yang menyatakan kegunaan, ada yang menyatakan
kepastian hukum, dll.
Hukum yang ada
kaitannya dengan masyarakat mempunyai tujuan utama yaitu dapat direduksi untuk
ketertiban (order). Menurut
Mochtar Kusumaatmadja “Ketertibaban” adalah tujuan pokok dan pertama dari
segala hukum, Kebutuhan terhadap ketertiban ini merupakan syarat pokok(fundamental)bagi adanya suatu masyarakat
manusia yang teratur, ketertiban sebagai tujuan hukum, merupakan fakta objektif
yang berlaku bagi segala masyarakat manusia dalam segala bentuknyauntuk
mencapai ketertiban ini diperlukan adnaya kepastian dalam pergaulan antar
manusia dalam masyarakat.
B.
Ketertiban
Dalam Hidup
Di setiap aspek
kehidupan sudah barang tentu terdapat sebuah aturan yang mengatur. Baik di
lingkungan keluarga, masyarakat, sekolah, atau pun di bidang sosial, politik
maupun agama. Kenapa? Karena dengan adanya aturan akan menciptakan ketertiban
dan membuat keadaan menjadi lebih tenang, damai, aman, dan sentosa. Bahkan,
dengan adanya ketertiban itulah terselenggaralah kehidupan di dunia dan
alam semesta ini.
Aturan merupakan
sebuah kata yang mempunyai makna sesuatu yang harus dipatuhi. Aturan juga
disebut dengan norma. Sebuah norma adalah sebuah aturan, patokan atau ukuran,
taitu sesuatu yang bersifat pasti dan tidak berubah. Dengan adanya norma kita
dapat memperbandingkan sesuatu hal lain yang hakikatnya, ukurannya, serta
kualitasnya kita ragukan. Norma berguna untuk menilai baik-buruknya tindakan
masyarakat sehari-hari. Sebuah norma bisa bersifat objektif dan bisa pula
bersifat subjektif. BIla norma objektif adalah norma yang dapat diterapkan
diterapkan secara langsung apa adanya, maka norma subjektif adalah norma yang
bersifat moral dan tidak dapat emmberikuan ukuran atau patokan yang memadai.
Aturan bisa
diterapakan dalam kehidupan keluarga agar tercipta kehidupan rumah tangga yang
berjalan tentram, indah, bersih, dan bahagia. Aturan juga terdapat pada Negara
yang disebut dengan undang-undang. Dalam kehidupan masyarakat, sesuatu yang
bersifat mengatur disebut hukum. Dengan adanya hukum itulah terjadi ketertiban
dan ketentraman dalam kehidupan masyarakat. Bila hukum tidak ada atau tidak
berfungsi, maka akan terjadi hukum rimba. Siapa kuat dialah yang berkuasa.
Tentunya, ini akan berbahaya. Bahaya dari hukum rimba itu adalah anarki, dan
kekacauan sosial akan terjadi dimana-mana. Sedikit lebih rendah dari norma,
hukum dalam masyarakat juga berlaku sebagai norma sopan-santun yang
mencerminkan etika seseorang.
Sesuatu yang
bersifat aturan juga terdapat dalam alam semesta. Kita mengenal hukum alam,
itulah aturan yang bekerja di alam semesta. Ketertiban alam semesta
dikenal di dalam agama Buddha sebagai Niyama artinya Hukum Tertib Kosmis.
Sesungguhnya, di dalam segenap bidang kehidupan berlaku aturan dan ketertiban.
Ketertiban itu pulalah yang dikuak oleh ilmu pengetahuan lewat teori. Sedangkan
hukum-hukum di dalamnya sebagai bidangnya.
Pada tingkat
kehidupan materi an-organik berlaku hukum ketertiban fisika yang disebut
Utu-Niyama. Pada tingkat organik berlaku hukum ketertiban organik yang disebut
Bija-Niyama. Pada tingkat kesadaran dan batiniah berlaku hukum ketertiban
jiwa yang disebut Citta-Niyama. Pada tingkat kehidupan dunia yang sulit
terinderakan, gaib, dan bersifat spiritual juga ada hukum ketertiban yang
terangkum dalam Dharma-Niyama. Dan dalam tingkat perilaku manusia pun memiliki
hukum ketertiban yang disebut Karma-Niyama.
Bila dunia
semesta saja memiliki ketertiban dan aturan, maka bayangkanlah bila hidup ini
tidak ada aturan? Apa yang akan terjadi? Tentunya dunia ini akan kacau dan
chaos. Orang akan saling membunuh, saling mencerca, saling fitnah. Perampokan,
pencurian, penipuan akan merajalela. Tidak ada lagi jaminan dan perlindungan
terhadap hak asasi, tidak ada rasa aman, tidak ada lagi perlindungan terhadap
hak milik, tidak ada lagi kebenaran. Semua serba kacau dan orang akan melakukan
sesuatu dengan sesuka hatinya. Tidak ada bedanya antara benar dan salah, tidak
ada bedanya antara kebijaksanaan dan keegoisan, antara giat dan malas, antara
sukses dan gagal.
Oleh karena itu
aturan sangat penting bagi kehidupan manusia. Karena aturan itu akan
menciptakan kedamaian, ketentraman. Aturan juga harus jelas, sehingga antara
yang menjalankan maupan yang melanggarnya tahu akan akibat dari pelanggaran
aturan yang ia lakukan. Ketertiban pada prinsipnya dapat membuat seseorang
disiplin, sebab Ketertiban dan Kedisiplinan sebagai Landasan Kemajuan tertib dan
disiplin adalah matra yang amat menentukan keberhasilan sebuah proses
pencapaian tujuan. Dengan ketertiban, kita berusaha mengetahui dan mencermati
aturan agar perjalanan menjadi lebih lancar. Disiplin adalah sikap yang
diperlukan untuk menjalani proses tersebut.
C.
Ketertiban
dapat membawa kedamaian dan kebahagiaan
Sebelum kita masuk kepada bagaimana konsep ketertiban yang
membawa kedamaian dan kebahagiaan sekaligus, kita lihat dulu tujuan akhir dari
konsep yang hendak dicapai yakni kebahagiaan. Menurut Hans Kelsen
kebahagiaan sosial merupakan kedilan. Lalu lebih lanjut Kelsen menjelaskan
bahwa konsep keadilan merupakan sebuah konsep pertimbangan nilai yang bersifat
subjektif.
Apa arti sesungguhnya dari pernyataan bahwa tatanan sosial
tertentu merupakan sebuah tatanan sosial yang adil? Pernyataan ini berarti
bahwa tatanan tersebut mengatur perbuatan manusia dengan cara yang memuaskan
bagi semua orang sehingga mereka semua menemukan kebahagiaan di dalamnya.
Kerinduan akan kedilan merupakan kerinduan abadi manusia akan kebahagiaan.
Kebahagiaan ini tidak dapat ditemukan oleh manusia sebagai
seorang individu terisolasi dan oleh sebab itu ia berusaha mencarinya di dalam
masyarakat. Roscoe Pound berpendapat tatanan hukum yang adil adalah
tatanan hukum yang mengamankan dan melindungi berbagai kepentingan kodifikasi
hukum tradisional yang diwarisi sesuai kondisi sosial yang ada.
Namun menurut Kelsen bahwa jelaslah tidaklah mungkin ada ada
tatanan yang adil, yakni tatanan yang memberikan kebahagiaan bagi setiap
individu, bila kita mendefenisikan kebahagiaan dari pengertian aslinya yang
sempit tentang kebahagiaan perseorangan, mengartikan kebahagiaan sesorang
sebagai apa yang menurutnya memang demikian. Karena itu tidak dipungkiri bahwa
pada suatu saat kebahagiaan seseorang akan bertentangan secara langsung dengan
kebahagiaan orang lain. Jadi tidak mungkin pula ada suatu tatanan yang adil
meskipun atas dasar anggapan bahwa tatanan ini berusaha menciptakan kebahagiaan
bukan atas kepada setiap orang perorangan. Menurut Kelsen yang dapat dikatakan
adil adalah sebuah “legalitas” dari suatu aturan yang diterapkan terhadap semua
kasus yang memang menurut isinya aturan ini yang harus diterapkan.
Berdasar atas rasio berpikir tersebut jelaslah bahwa
keadilan merupakan suatu pandangan yang nisbi adanya dan hanya dapat dinilai
dengan penilaian secara emosional. Namun masihlah lebih baik jika pandangan
yang subjektif dan nisbi itu bertujuan dapat memberikan keadilan bagi
sebanyak-banyaknya orang, daripada menciptakan sebuah gagasan yang bersifat
memaksa tanpa mempertimbangkan perasaan hukum bagi sebanyak-banyaknya orang,
maka justru akan membuat keadaan menjadi tidak lebih baik. Hal tersebut
merupakan pandangan Jeremi Bentham “the aim of law is the greates
happiness for the greates number”. Dan dengan pandangan itu paling tidak
tujuan akhir kebahagiaan yang hendak dicapai dapat dinikmati oleh
sebanyak-banyaknya orang dari pada tidak sama sekali.
Akan tetapi menurut John Rawls keadilan yang
diinginkan bagi sebanyak-banyaknya orang belum tentu keadilan yang objektif dan
diterima secara rasio. Rawls memberi contoh apabila sebagian besar orang lebih
menginginkan kondisi sosialnya menghalalkan perbudakan apakah itu bisa
dikatakan sbagai keadilan bagi sebanyak-banyaknya orang dan apakah hal itu bisa
diterima oleh rasio manusia yang beradab?. Rawls lalu mengemukakan teori
keadilan yang kemudian dikenal dengan teori keadilan Rawls, menurutnya keadilan
baru bisa didapatkan apabila orang dalam keadaan bebas/ independen dan tidak
mengetahui posisinya di dalam sosial. Dalam teori ini kebahagiaan dapat
diperoleh dengan prinsip kebebasan bertindak.
Menurut Imam Al-Gazali bahagia itu terdiri atas lima
hal yaitu: 1. kebahagiaan akherat, 2. kebahagiaan yang dikarenakan oleh taufiq
atau tuntunan dari yang Maha Kuasa (kedua jenis kebahagiaan itu merupakan kebahagiaan
yang bersifat transedental) 3. bahagia yang dikarenakan oleh kutamaan akal budi
yaitu kecerdasan, 4 keutamaan dari tubuh yaitu kesehatan dan kerupawanan, 5.
kesehatan dari luar tubuh yaitu harta, keluarga, sosial dan keturunan (ketiga
kebahagiaan itu merupakan kebagiaan yang bersifat lahiriah). Jenis kebahagiaan
transedental hanya dapat dicapai pada kondisi sosial yang berkultur religius
sementara yang bersifat lahiriah dapat dicapai oleh kelompok masyarakat
manapun. Kebahagiaan lahiriah dalam pencapaiannya membutuhkan pola-pola yang
tersusun secara sistemik oleh pemegang kendali dalam masyarakat (dalam hal ini
pemerintah). Seperti pemerintah harus mengusahakan kesejahteraan bagi
rakyatnya, mengusahakan pendidikan yang baik bagi rakyatnya, mengusahakan
pelayanan kesehatan yang baik bagi rakyatnya d.l.l. Kebahagiaan yang bersifat
transedental bukan berarti tidak dapat membawa kebahagiaan sampai ke alam nyata
malah justru kebahagiaan transedental terbukti efektif membawa kebahagiaan itu.
Kita sebut saja bagaimana konsep “kesabaran” yang diajarkan dan menjadi dogma
dalam penganut agama Islam menjadikan penganutnya mampu untuk mengatasi
berbagai hal yang selama ini menjadi masalah sosial, contoh kemiskinan, dalam
konsep “sabar” kemiskinan dipandang sebagai cobaan dari yang Maha Kuasa yang
mengharuskan orang yang mengalaminya untuk dapat menerima keadaan tersebut
dengan hati yang ikhlas sembari berusaha untuk keluar dari kesulitan tersebut,
sementara orang-orang mampu di sekitarnya diwajibkan untuk senantiasa membantu
orang yang tidak mampu ini. Pembantuan tersebut dikenal dengan istilah Zakat,
Infaq, dan sedekah. Kedua hal itu merupakan keseimbangan hidup. Dengan menilik
hal tersebut dapat dikatakan bahwa keseimbangan hidup dapat diartikan saling
memberi “manfaat”. Atau dengan kata lain tujuan hukum Islam adalah bagaimana
memperoleh kemanfaatan dan kemaslahatan ummat.
Menurut F.K. von Savigny sebagai penganut mazhab
sejarah keadilan hukum itu tidak dibuat namun tumbuh dan berkembang di
tengah-tengah masyarakat. Pendapat ini mempergunakan dasar volkgiest (jiwa
rakyat) yang berbeda-beda menurut waktu dan tempat. Jadi menurut teori ini
kebahagiaan itu tidak perlu dibuat namun dibiarkan tumbuh dengan sendirinya
berdasarkan jiwa rakyat atau volkgiest itu.
Hal selanjutnya adalah persoalan “kedamaian”. Tatanan hukum
yang seperti apakah yang dapat menimbulkan kedamaian? Kedamaian dapat
ditimbulkan oleh tatanan hukum yang bukan untuk memuaskan kepentingan satu
pihak dengan mengorbankan kepentingan pihak yang lain, tetapi menghasilkan satu
kompromi antara kepentingan-kepentingan yang bertentangan untuk memperkecil
kemungkinan terjadinya friksi. Hanya tatanan hukum yang seperti itulah yang
memungkinkan untuk menjamin perdamaian sosial bagi para subjeknya atas suatu
dasar yang relatif permanen.
Menurut kaum positivis cita-cita keadilan merupakan sesuatu
yang sangat berbeda dari cita-cita pardamaian, ada kecendrungan untuk
menyamakan kedua cita-cita tersebut, atau paling tidak menggantikan cita-cita
keadilan dengan cita-cita perdamaian. Perdamaian dapat tercapai bila tercipta
keteraturan dalm masyarakat. Dengan aturan yang dibuat oleh otoritas tertinggi
dari suatu komunitas akan mampu menciptakan kedamaian diantara angggota
masyarakatnya, kedamaian ini paling tidak muncul dari rasa takut terhadap
sanksi yang mengikuti aturan tersebut. Seperti itulah kaum positivis memaknai
hukum dalam membawa perdamaian. Namun jika atas rasio tersebut aturan dibuat
maka tujuan untuk mencapai kebahagiaan akan sulit tercapai
Kedamaian dapat diciptakan dengan barbagai peraturan yang
mana peraturan itu tentunya tidak mengandung tendensi tertentu bagi kalangan
tertentu pula. Lalu bagaimana cara agar aturan yang dibuat tidak menimbulkan
tendensi? Disinilah mungkin peran Justice theory dari John Rawls
dibutuhkan, pembuat aturan haruslah bebas dan tidak mengetahui kepentingannya
dalam aturan yang dibuatnya.
Ketertiban akan senantiasa membawa kedamaian, namun perlu
juga digaris bawahi bahwa kedamaian belum tentu membawa kebahagiaan. Lalu
ketertiban yang bagaimanakah yang mampu membawa kedamaian sekaligus
kebahagiaan. Konsep dasarnya adalah “peraturan”. Tujuan yang hendak dicapai
adalah “aturan” yang membawa ketertiban, “aturan” yang membawa kedamaian,
“aturan yang membawa kebahagiaan.
Sejak awal dikatakan biasanya peraturan dapat membawa
ketertiban dan kita ketahui bahwa ketertiban ini akan membawa kedamaian antar
individu dalam komunitas yang diatur tersebut, tak peduli apakah peraturan
tersebut sesuai atau tidak sesuai dengan keinginan intern komunitas yang
diatur. Jadi yang terpenting adalah bagaimana peraturan yang mampu membawa
kebahagiaan. Sebagaimana yang telah dipaparkan di atas bahwa kebahagiaan
merupakan hal relatif dan bersifat subjektif. Namun kita bisa mengombinasi
teori-teori yang telah dipaparkan di atas untuk menjawab permasalahan ini.
Jeremi Bentham dengan tujuan hukumnya yaitu untuk kebahagiaan bagi
sebanyak-banyaknya orang, namun perlu juga memperhatikan kritikan dari John
Rawls bahwa keinginan komunitas ini juga haruslah adil dan beradab olehnya justice
theory dari Rawls sepertinya tepat digunakan dalam membuat peraturan.
Selanjutnya peraturan yang akan dibuat sebaiknya sesuai dengan keinginan
masyarakat atau jiwa bangsa (volkgiest) dengan demikian apa yang
dikemukakan oleh Roscoe Pound bahwa tatanan hukum yang adil adalah tatanan
hukum yang mengamankan dan melindungi berbagai kepentingan kodifikasi hukum
tradisional yang diwarisi sesuai kondisi sosial yang ada akan dapat terpenuhi.
Namun di luar dari hal itu semua untuk membantu tugas hukum
untuk memgontrol kondisi sosial karena memang hukum hanyalah salah satu alat
kontrol sosial, diperlukan pranata lain seperti Pranata Agama. Hal ini
diperlukan sebab sebagaimana yang telah dikatakan oleh Hans Kelsen bahwa
kebahagiaan itu adalah hal yang bersifat subjektif dan Irrasional. Jika
direnungkan apa yang dikemukakan Kelsen tersebut adalah masalah yang
membutuhkan solusi. olehnya menurut penulis pencapaian kebahagiaan yang
bersifat Subjektif dan Irrasional dapat dicapai dengan pencapaian kebahagiaan
yang bersifat transedental. Caranya yakni dengan menggunakan peran
ajaran agama.
halo, saya mau tanya untuk artikel diataas dari buku Prof Sudaro Gautama dgn judul apa ya?? Terimakasih..
BalasHapus